In The Middle Of

Kamis, 24 Januari 2013.

Awalnya saya membuka netbuk di rumah demi mengerjakan pekerjaan kantor. Deadline. Beberapa desain untuk materi promosi korporat. Kemudian terhenti.

Sakit kepala ini sudah terasa sebelum netbuk dibuka. Tiba-tiba. Ketika akan meneguk satu pil painkiller, saya terhenti. Ada sebuah kalimat dari seseorang tersayang terngiang di telinga.

“Jangan pake obat terus.”

Saya mengurungkan niat dan hanya meneguk air putih.

Saya memutuskan untuk keluar dari kamar dan membawa netbuk ke ruang TV di lantai 2. Duduk dekat pintu dimana udara dari luar bebas masuk ke dalam. Berharap jika udara luar masuk melalui rongga hidung akan membuat sakit kepala ini menghilang.

Tapi tidak. Ketika beberapa gambar vector untuk desain saya sudah tersimpan pada benda mungil bernama flashdisk. Rasanya malah semakin menjadi. Tapi kali ini saya memutuskan untuk menghadapinya dengan lebih tenang. Walau sesekali memejamkan mata menahan sakitnya. Sebuah krim oles saya gunakan.

Saya seakan menantang diri saya sendiri untuk dapat terus menulis. Pengalihan rasa sakit.

Jadi kita akan bicara tentang apa?

 

Jakarta Banjir

Kota tempat saya dilahirkan, dibesarkan, Jakarta, diserang banjir besar seminggu yang lalu. Banyak orang bukan hanya kehilangan harta benda,tempat tinggal, namun juga nyawa anggota keluarga. Sehari setelah banjir besar disertai hujan seharian, hari dimana matahari mulai menampakkan sinarnya, beberapa wilayah yang saya lewati waktu menuju kantor masih terlihat memprihatinkan.

Posko-posko darurat berada di pinggir jalan. Orang-orang berebutan baju bekas layak pakai. Belum lagi jika tiba-tiba mata menangkap jenazah korban yang baru berpulang. Menyesakkan. Menyedihkan. Air mata tak tertahankan.

Di saat yang sama, ditengah situasi berbeda. Beberapa orang  di sekitar mulai berkeluh kesah. Bergurat kesal. Sebabnya? Macet lebih padat, biaya sehari-hari meningkat, kelelahan yang lebih dari biasanya karena jarak tempuh ke tempat aktifitas harus memutar lebih jauh.

Saya? Saya masih bisa ke kantor walau dengan usaha yang berkali lipat dari biasanya. Sempat ngobrol dengan teman-teman. Kami semua sadar bulan ini kami mengeluarkan lebih banyak “modal” untuk beraktifitas. Tenaga pun terkuras. Namun apalah artinya itu semua ketika kami sadar masih bisa pulang ke rumah. Masih ada bangunan layak tinggal untuk kami. Masih diberi “modal” untuk pergi pulang. Masih diberi tubuh tegap untuk berjalan dan otak masih bisa berputar untuk berpikir, bertanggungjawab atas berbagai tanggung jawab yang menempel pada kami. Lalu yang terbesar adalah, masih ada orang-orang tercinta mendampingi.

Saya dan teman-teman lebih ingin menganggap perjalanan pulang pergi ke kantor akhir-akhir ini seperti petualangan. Bukan berarti tak ada helaan nafas dalam-dalam. Bukan berarti tidak ada kerutan kecemasan ketika hujan deras turun kembali. Tapi mengeluhkan terus-terusan juga tidak meringankan perasaan, bukan?!

Dan yang paling penting, orang-orang yang berada pada posisi kami pasti masih bisa diberikan rezeki untuk membantu yang sedang membutuhkan, yang memiliki kondisi jauh lebih sulit daripada kami. Kalaupun memberikan bantuan terasa agak memberatkan, paling tidak mulut mohon dijaga agar diam. Tak sembarangan mengeluh atau memaki keadaan.

Oke, saya tampaknya harus menghentikan posting kali ini di sini. Akan mencoba mencari pengalihan rasa sakit yang lain. Kamu semua, jaga kesehatan ya!