Saat Euforia Piala Dunia, Ada Gema Indonesia di Badminton City

Indonesia Open

Indonesia Open

Piala Dunia akan segera berakhir. Meski belum dapat ikut serta dalam perhelatan akbar si kulit bundar itu, Indonesia tak luput dari euforianya.  Nggak hanya menyihir laki-laki, Piala Dunia juga menyihir kaum hawa. Café, hotel, restoran dan banyak tempat hiburan lainnya beramai-ramai menggelar ‘Nonton Bareng Piala Dunia’.

Akhir Juni 2010, Indonesia mengadakan salah satu turnamen bulutangkis paling bergengsi yaitu Indonesia Open Super Series (IOSS). Diikuti oleh Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Jepang, Polandia, Korea Selatan, Inggris, Taiwan, Selandia Baru, AS, Australia, Rusia, Bulgaria, Prancis, Jerman, Kanada, Belanda, India, Swiss, Finlandia, Slovenia, Macau, Wales, Spanyol, Guatemala, dan Italia, IOSS mengambil tempat di Istora Gelora Bung Karno (Istora GBK) kemudian berhasil mengambil perhatian di tengah euforia Piala Dunia yang sedang hangat-hangatnya.

Indonesia Open diakui oleh Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) sebagai salah satu turnamen utama, karena itu bisa menyandang nama Super Series. Indonesia Open 2010 akan menjadi Super Series terakhir yang digelar karena akan tahun depan turnamen ini akan naik menjadi Premier Super Series. Menurut peraturan BWF, Premier Super Series adalah turnamen yang memiliki hadiah minimal $300.000 dan wajib diikuti pemain ranking 1-10 dunia. Selain Indonesia, ada Korea, China, Inggris, dan Denmark adalah negara yang dipercaya BWF menyelenggarakan Premier Super Series. Ah, bangganya saya!

Saya yang belum pernah menonton pertandingan bulu tangkis secara langsung akhirnya memutuskan mengisi waktu jalan-jalan weekend saya untuk datang ke Istora dengan tujuan ikut memberi semangat kepada para pemain Indonesia. Pada saat semifinal, saya mengeluarkan uang sebesar 70 ribu rupiah untuk menonton di kelas I. Sedangkan untuk kelas VIP tiket dihargai sebesar 100 ribu rupiah. Harga tersebut lebih mahal dibandingkan babak-babak sebelumnya dimana tiket dijual dengan harga 25 ribu dan 50 ribu. Tiket dibuat seperti kartu ATM sehingga bisa dijadikan souvenir kenang-kenangan.

Sesampainya di Istora GBK, suasana lebih meriah dari yang saya bayangkan. Istora “disulap” menjadi Badminton City! Panitia penyelenggara memang berniat menggabungkan konsep lifestyle dan hiburan dengan olahraga sesuai dengan tema tahun ini, “Celebrate World’s Badminton Passion!”

Di bawah DIO Raksasa

Di Bawah DIO Raksasa

Berbagai booth ada disini. Nggak hanya booth restoran berupa makanan warung tenda sampai makanan yang biasa kita temui di mall. Face painting juga hadir, kemudian ada Booth Games, Toko Buku, Bank, Pakaian bertema IOSS, dan lain-lain. Bagi yang ingin meninggalkan jejak di IOSS 2010 dapat menulis komentar di Comment Wall. Big Screen juga disediakan bagi siapapun yang ingin menyaksikan pertandingan dari luar arena. Ada juga burung bernama Dio, sang Maskot IOSS 2010 yang selalu sibuk melayani permintaan foto bersama dengan para pengunjung.

Bersama DIO

Bersama DIO

Dio yang terbuat dari balon ukuran besar tak lepas menjadi pusat perhatian. Dari petunjuk jalan sampai denah lokasi, hampir semua yang ada di Badminton City “berbau” Raket dan shuttlecock. Ada juga lapangan bulu tangkis tiruan yang (lagi-lagi) menjadi salah satu tempat favorit untuk berfoto. Pada saat-saat tertentu kelompok marching band akan mengelilingi Badminton City.

Saatnya menyaksikan pertandingan. Belum mulai saja sudah terdengar teriakan Indonesia dari segala penjuru stadion. “Dua ekor” Dio juga sudah siap memberi semangat tepat di samping lapangan. Barisan cheerleader berada di belakang Dio siap memberikan aba-aba yel-yel kepada penonton.

Tak ketinggalan penonton yang sudah niat membawa drum, terompet, bendera merah putih dan berdandan ala badminton freak, seperti seorang laki-laki yang tubuhnya ditempeli banyak shuttlecock. Teriakan yang terdengar seperti,

“Indonesiaaa!!!” Dung dung dung dung dung!

“Indonesiaaa!!!” Dung dung dung dung dung!

Atau

“Taufiikkkk, Taufiiikkk!”

“Taufiiikkk, Taufiiikkk!”

Terdengar juga,

“Ayo Indonesiaaaa! Indonesia bisaaaa!!”

Adek saya tercinta yang nonton IOSS sama saya

Adek saya tercinta yang nonton IOSS sama saya

Merah Putih di GBK

Merah Putih Di GBK

Oh iya, saya ketemu Titiw, temen kuliah saya sekaligus blogger yang Badminton Freak. Titiw datang bersama sahabatnya yang juga pecinta Badminton, Widya. Menjelang semifinal, Titiw nggak enak badan. Namun ia tetap datang ke Istora dengan alasan Indonesia Open cuma diadakan setahun sekali.

Titiw tampak belakang sedang makan bekalnya

Titiw tampak belakang sedang makan bekalnya

Aura nasionalisme sungguh melekat erat di Istora kala itu. Bola masuk dari pemain Indonesia akan disambut sorak sorai membahana. Sebaliknya, waktu pemain lawan berhasil mengambil angka, teriakan pemberi semangat tak surut bergema.

Hari itu, di babak semifinal, Indonesia memang hanya bisa meloloskan Taufik Hidayat untuk melaju ke babak final (dan akhirnya kalah dengan pemain Malaysia) dan Hendra Setiawan (ganda campuran berpasangan dengan pemain Rusia). Pemain Indonesia lainnya seperti Nova Widianto – Liliana Natsir (ganda campuran), Ana Rovita (tunggal putri), Sony Dwi Kuncoro, Vita Marissa (ganda putri sampuran Indonesia dan Thailand) menyerah di tangan lawan masing-masing. Walau begitu, pendukung Indonesia tak pernah putus meneriakkan yel-yel dukungan sekaligus semangat sampai akhir pertandingan.

Contohnya ketika Ana Rovita menelan kekalahan melawan Sayaka Sato asal Jepang. Seluruh penonton spontan memberikan standing applause. Mereka sangat menghargai perjuangan Ana yang sempat beberapa kali terjatuh ketika bertanding. Sebuah pertandingan memang bukan hanya tentang hasil, namun lebih kepada perjuangan yang telah dilalui pemain.

Suara saya hampir habis, badan saya yang mudah kecapean juga terkuras staminanya, tapi saya sama sekali nggak menyesal telah datang ke Indonesia Open 2010. Saya malah ingin melakukan hal yang sama tahun depan, atau mungkin ke event olahraga lain untuk ikut “menyumbangkan” teriakan semangat kepada pahlawan-pahlawan olahraga Indonesia.

Hidup Indonesia kita!!